Selasa, 12 Oktober 2010

Ekonomi Islam Menggapai Kesejahteraan

Ekonomi Islam Menggapai Kesejahteraan


Oleh : Imam Punarko (Presidium Nasional 1 Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam)
Disampaikan pada Diskusi Bulanan Aliansi Edukasi Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta
Waktu/Tempat: Selasa, Oktober 2010/ Gedung L, Fakultas Ekonomi

Kajian ini dimulai dari sebuah kunjungan tokoh Ekonomi Barat (Joseph E. Stiglitz) yang sedang berkunjung ke Indonesia Untuk Berbicara mengenai masalah politik pemerintah Indonesia di bidang penanaman modal asing. Dengan berani, Stiglitz mengkritisi pemerintah Indonesia agar berani menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang terindikasi merugikan kepentingan rakyat, mengingat kontraknya berlangsung beberapa generasi.. Seorang rekan di bank sentral Indonesia bercerita, ketika Stiglitz mengunjungi Jakarta, petinggi bank sentral Indonesia pernah menyampaikan kepada Stiglitz bahwa konsep ekonomi yang digaungkan Stiglitz sebenarnya adalah konsep ekonomi syariah. Stiglitz menjawab, "Memang benar, konsep saya tentang paradigma baru ekonomi moneter itu adalah ekonomi syariah”.

Sebelumnya, melalui buku Toward a New Paradigm in Monetary Economics(2003), Stiglitz dan Bruce Greenwald memperkenalkan pendekatan baru dalam ilmu ekonomi. Pendekatan inilah yang menjadi benang merah antara Stiglitz dengan ekonomi syariah, selain seruan dalam setiap buku-bukunya yang selalu menuntut keadilan dan mengecam ketimpangan. Setidaknya ada tiga pendekatan Stiglitz dalam buku tersebut yang merupakan teori ekonomi syariah bidang moneter.

Pertama, Stiglitz mengemukakan bahwa efektivitas kebijakan moneter sangat bergantung pada kondisi perbankan, terutama dalam penyaluran kredit. Penegasan Stiglitz tentang pentingnya kredit untuk menunjang pertumbuhan ekonomi selaras dengan teori ekonomi syariah yang berorientasi pada sektor riil.

Kedua, Stiglitz menyatakan bank harus berperilaku netral dan risiko harus terdistribusi efektif bagi seluruh pelaku ekonomi. Dalam teori ekonomi syariah, bank diasumsikan tidak dapat memastikan keuntungan dan kerugian di masa depan serta harus mengedepankan profit-loss sharing. Konsep ini memberi pesan bahwa bank harus diposisi netral serta keuntungan dan risiko harus terdistribusi pada semua pelaku ekonomi.

Ketiga, Stiglitz menyatakan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga kini tidak efektif lagi dalam mempengaruhi kegiatan di sektor riil.

Timbul Pertanyaan besar dalam benak kita dikemanakan arah perkembangan perekonomian selama ini, seandainya bentuk ekonomi yang dinyatakan dalam Washington consensus bahwa ekonomi yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro, dan penerapan kebijakan harga yang tepat. Sesungguhnya, butir-butir Washington Consensus tidak dapat begitu saja diterapkan dalam kebijakan ekonomi suatu Negara. Buktinya hingga hari ini kesejahteraan yang diharapkan oleh kita selaku dunia ketiga ternyata belum membuahkan hasil yang dapat dikatakan baik.

Dahulu ketika Amerika membantu barat dalam membantu Negara-negara barat pasca Perang Dunia II melalui Marshall Plan-nya, yang mana Eropa Barat membayar bantuan Amerika Serikat tersebut dengan barang-barang kebutuhan Amerika Serikat selama beberapa tahun. Apa yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Eropa Barat pada saat itu sangat bisa dikategorikan sebagai pembiayaan As-Salam (In-Front Payment Sale), di mana bantuan tersebut adalah jual beli dibayar di depan antara Amerika Serikat dan Eropa Barat atas barang-barang yang menjadi kebutuhan Amerika Serikat selama beberapa tahun. Marshall Plan telah membuat Eropa Barat bergiat dalam kegiatan ekspor barang-barang ke Amerika Serikat, dan Amerika Serikat bisa berkonsentrasi dalam pembuatan barang-barang kebutuhannya yang lain secara lebih spesifik.

Ternyata Marshall plan yang telah dicontohkan Amerika menjebak bangsa Indonesia kedalam jeratan hutang yang mengandung banyak unsur Riba. Cerita Marshall Plan ini menjadi justifikasi pemerintah Indonesia di masa itu untuk meminjam terus menerus dari negara-negara barat (direpresentasikan oleh IGGI – Inter Governmental Group on Indonesia) yang katanya hanya dikenakan “bunga lunak” demi pembangunan di Indonesia. Hal seperti ini terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia sekarang ini melalui CGI (Consultative Group on Indonesia), World Bank, IMF (International Monetary Fund), dan sebagainya. Marshall Plan yang dilakukan Amerika Serikat atas Eropa Barat jelas-jelas berbeda dengan pinjaman bunga-berbunga yang dilakukan negara-negara barat atas Indonesia. Marshall Plan mempunyai substansi As-Salam sebagai salah satu bagian dari Islamic Based Economy, sementara pinjaman-pinjaman bunga berbunga adalah sangat ditentang dalam Islamic Based Economy.

Firman Allah SWT & Hadits Rasulullah Muhammad SAW menyatakan: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S.: Al Baqarah:275). Dari Suhaib Ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (H.R. Ibnu Majah).

Ekonomi riba yang mendasari ekonomi Indonesia selama ini, telah menjadikan Indonesia menjadi negara dengan ekonomi biaya tinggi. Hal ini seharusnya tidak terjadi jika Indonesia mengaplikasikan Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW dalam ekonominya.
Hal ini yang menuntut kita sebagai mahasiswa untuk dapat bersifat kritis menanggapi fenomena yang ada dan menjadikan ekonomi islam sebagai Islamic Based Economy (IBE). Dimana unsur-unsur didalamnya di upayakan di Implementasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, baik itu sikap, perilaku, bahkan sampai paradigma berfikir kita sebagai seorang mahasiswa. Wallahualam bishawab.