Memandang Indonesia, negeri hebat penuh berkah.
Tumpuan harapan, anak bangsa.
Memandang Indonesia, negeri kaya segalanya.
Bak mutiara dan jamrud katulistiwa.
Tetapi ada kegelisahan di hati saya.
Ada kegalauan di pikiran saya.
Resah merasa. Galau membiru.
Musti ada yang kita ubah.
Indonesia punya segalanya. Sumber daya alam melimpah. Sumber daya manusia tak kalah. Tetapi mengapa Indonesia tak kunjung menjadi negara yang kuat? Negara adi daya. Negara yang mengguncang dunia. Negara yang setara.
Mengapa pula kita masih dipandang sebelah mata. Masih diragukan dan kurang dipercaya. Padahal kita punya semuanya.
Sejarah telah berbicara. Para pendiri bangsa ini telah membuktikan. Duduk sama rata, berdiri sama tinggi dengan pemimpin-pemimpin dunia. Gagasan dan pikiran mereka diapresiasi.
Bung Karno jauh hari telah berujar. “Kami menggoyahkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudra. Agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2.5 sen perhari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli” (Soekarno).
Pak Harto membawa Indonesia menjadi macan Asia. Negeri yang diperhitungkan di kancah pergaulan dunia.
Kita punya prestasi. Kita juga punya reputasi. Dulu kita punya Rudi Hartono, yang menjadi juara All England delapan kali. Kita punya sejarah. Kita juga punya pijakan.
Tetapi mengapa hari ini kita melemah. Semangat kita mengendur. Etos kita keropos. Kita tidak punya semangat lagi untuk mengukir prestasi. Kita tak lagi bisa membingkai reputasi.
Pasti ada yang salah. Jangan dibiarkan. Musti ada yang kita kerjakan. Musti ada yang kita lakukan. Sekarang juga. Indonesia harus kembali setara. Indonesia harus kembali menjadi jawara. Kita tak boleh malu menenteng passport berlambang Garuda.
Akhiri Perselisihan
Hari ini kita sibuk berkiprah di dunia politik. Semakin hari, ghirah politik kita semakin menjadi. Jumlah calon legislatif 2009, lebih banyak dari jumlah pengusaha di negeri ini. Pengusaha kita tercatat 0,18 persen dari populasi. Atau sekitar 400 ribu. Sedangkan caleg 2009, tercatat lebih dari 500 ribu.
Politik kembali menjadi panglima, di saat kita harus membangun ekonomi dan mengejar ketertinggalan ekonomi.
Riset AC Nielsen menjelaskan mahalnya biaya politik di Indonesia. Hampir menyamai biaya politik di Amerika Serikat, negara dengan GNP yang jauh di atas kita. Coba kita tengok. Tahun 1999, total belanja iklan politik hanya Rp.35 miliar. Tetapi pada 2004, meroket menjadi Rp.3 triliun. Dan pada 2009, bisa dipastikan lebih melambung lagi.
Jumlah itu kian mengerikan bila ditambah dengan biaya politik yang dikeluarkan untuk pelaksanaan, pengawasan dan pengamanan pemilu dan pemilukada. Untuk pemilukada 2010 saja, negara ini membelanjakan uang Rp.15 triliun.
Hasilnya? Bisa kita saksikan dengan membaca suratkabar dan menonton televisi. Setiap hari ada perselisihan! Kita makin giat bertengkar secara terbuka. Kita suka saling menyalahkan dalam semua hal. Aneh memang, kita seperti punya penyakit hati. Senang melihat orang lain susah, dan susah melihat orang lain senang.
Akibatnya? Perselisihan membuat Indonesia kehilangan jati diri. Kehilangan kesempatan untuk berkompetisi. Kehilangan momentum untuk membangun. Dan kehilangan waktu untuk berpacu.
Coba kita tengok tetangga kita. Malaysia dan Singapura. Dulu mereka belajar dari kita. Sekarang mereka jauh di depan kita. Coba lihat pembangunan dan pendapatan perkapita penduduk mereka.
Indonesia harus bangkit. Tanpa kinerja dan prestasi, bangsa ini akan semakin tertinggal.Semangat berkarya akan mengukir prestasi. Dan prestasi akan membingkai reputasi. Dari sana kita akan melahirkan kembali maestro-maestro yang mengguncang dunia. Ini tugas kita semua. Bukan hanya tugas pemerintah.
Optimisme
Dunia internasional memandang Indonesia dengan optimisme. CLSA menyatakan kekuatan Asia ke depan dimotori tiga negara. China, India dan Indonesia. Mereka menyebut dengan istilah; “Chindonesia”.
Goldman Sach memasukkan Indonesia dalam 11 negara yang menjadi pemicu dan pendorong pergerakan ekonomi dunia. Sedangkan Morgan Stanley, menambahkan Indonesia, dalam kelompok BRIC (Brazil, Rusia, India dan China), menjadi I-BRIC.
Pricewaterhouse Coopers, memprediksi Indonesia pada tahun 2050, akan menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi ke-6 dunia. Jauh di atas Belanda, Jepang, Inggris, Portugal. Empat negara yang pernah menjajah Indonesia.
Optimisme dunia internasional dalam memandang Indonesia adalah modal, sekaligus momentum. Harus kita tangkap dan kita wujudkan.
Membangun kembali kejayaan ekonomi adalah keharusan. Ini tugas dan pengabdian. Saya merasa terpanggil. Saya juga berniat ikhlas. Saya merasa telah memperoleh banyak hal dari Tuhan. Tentu, Tuhan punya maksud. Dan, saya yakin, semua itu harus dikembalikan bagi kebaikan kita semua.
Indonesia Setara
Saya menawarkan gagasan. Waktunya Indonesia Setara. Begitu saya menyebut. Kesetaraan adalah faktor kunci. Setara dalam peluang, perhatian dan kemajuan. Yang pada akhirnya, kita akan setara dalam pergaulan dunia.
Siapa yang harus disetarakan? Setara antara daerah dan pusat. Antara UMKM dan usaha besar. Antara tua dan muda. Antara pria dan wanita. Dan antara yang miskin dan kaya.
Bagaimana memulainya? Daerah harus berdaya. Karena disparitas ada di sana. Roda ekonomi harus digerakkan di daerah. Daerah harus jadi kekuatan, untuk menopang negeri kepulauan ini. Perlu diingat, 80 persen usaha kecil menengah ada di daerah. Mereka harus punya peluang dan kesempatan untuk menjadi besar.
Caranya? Kita ciptakan iklim yang mendorong kesetaraan. Melalui regulasi, yang pada akhirnya memaksa kita untuk mengubah mindset. Perusahaan besar harus membangun linkage dengan pengusaha kecil dan menengah.
Tidak ada lagi dikotomi tua dan muda. Karena yang muda yang memiliki kemampuan harus diberi kesempatan. Sedangkan yang tua, tetapi masih punya semangat, juga harus diberi tempat.
Jurang antara si miskin dan si kaya harus dikurangi. Semua lini dan tools yang ada harus digunakan. Pengusaha besar harus serius melakukan CSR dan communitty development. Ada azas manfaat yang dirasakan masyarakat dari dunia usaha yang berkembang.
Peran Kadin
Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sebagai salah satu entitas penting dalam dunia ekonomi bisa menjadi proxy untuk mewujudkan Indonesia Setara. Saya yakin, Kadin, dengan pola kepemimpinan yang visioner, mampu menjadi alat mencapai tujuan mulia: membangun kembali kejayaan ekonomi Indonesia.
Saya, berniat untuk membawa Kadin Indonesia menjadi alat tersebut. Mencapai tujuan hakiki, membangun ekonomi Indonesia ke depan lebih baik dari hari ini. Saya, ikhlas menawarkan gagasan ini. Apabila dipercaya, saya juga siap mewaakafkan diri saya sepenuhnya untuk Kadin Indonesia. Tetapi saya, tentu juga ikhlas, apabila gagasan saya tidak diterima.
Visi saya, Kadin menjadi kekuatan nyata dalammenyetarakan Indonesia. Dengan cara;
- Mempertahankan pasar domestik dan menembus pasar internasional
- Menciptakan iklim bisnis yang kondusif bagi dunia usaha di Indonesia
- Memberdayakan usaha mikro kecil dan menengah,untuk memperkuat sendi-sendi perekonomian nasional
- Mendorong modernisasi manajemen dan peningkatkan kemampuan finansial Kadin
- Meningkatkan peran pengusaha nasional untuk berkiprah di pasar internasional
- Mendorong keterlibatan anggota Kadin Daerah dan Asosiasi dalam pembangunan nasional melalui mekanisme public private partnership dengan Pemerintah Pusat dan Daerah
- Menghidupkan kembali linkage antara pengusaha besar, menengah dan kecil di 20% sektor terpenting yang menyumbang 80% PDB
- Meningkatkan peran dan partisipasi Kadin dalam menyusun kebijakan pemerintah
- Mendorong pemerintah maupun swasta untuk melakukan pembinaan yang berkelanjutan bagi UMKM di tingkat provinsi, kabupaten dan kota
Sandiaga Salahuddin Uno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar